Mario
Pendidikan

Larangan bagi yang haid dan nifas

busernett88
58
×

Larangan bagi yang haid dan nifas

Sebarkan artikel ini
Img 20240804 Wa0092

Majalengka, busernet.co.id // Diharam Bagi Wanita Haidh Dan Nifas melakukan:

1. Shalat,Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Jika datang haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah pergi maka mandilah dan lakukanlah shalat” (HR Bukhari Muslim).

2. Puasa.
Rasulallah saw bersabda: “Aku tidak melihat kurangnya akal dan agama yang lebih menguasai manusia dari wanita.”. Beliau bersabda “Wanita bangun malam tanpa mengerjakan shalat dan tidak puasa di bulan Ramadan (karena haid), ini adalah kekurangan pada agama” (HR Bukhari Muslim).

3. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Aisyah ra (Ketika haji wada’ dan ia mendapatkan haid): “Lakukanlah semua amalan yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, hanya saja engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah” (HR Bukhari Muslim).

4. Membaca Al-Quran, berkiyas kepada orang yang sedang junub diharamkan membaca al-Qur’an.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Al-Waqiah 79
Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.

5. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci, “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” alWaqi’ah:77

6. Berdiam (I’tikaf) di masjid.
Rasulallah saw bersabda “Tidak halal masjid bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haid” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Qathan)

7- Masuk ke dalam masjid sekalipun hanya untuk sekedar lewat jika ia takut akan mengotori masjid tersebut.
adanya keharaman itu sebagaimana pendapat menurut jumhur ulama. Mereka umumnya menggunakan dalil qiyas. Yaitu menyamakan orang yang sedang haidh dengan orang yang sedang junub. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang sedang junub dilarang masuk masjid kecuali sekedar lewat saja. Hal itu telah ditetapkan Allah SWT di dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…. (QS An-Nisa: 43)
Para ulama mengatakan bahwa makna jangan mendekati shalat adalah mendekati tempat shalat, yaitu masjid. Ayat ini bukan hanya melarang orang yang junub untuk shalat, tetapi menjadi dalil haramnya orang junub masuk ke masjid. Lalu wanita yang haidh diqiyas seperti orang yang junub, sehingga wanita haidh tidak boleh masuk masjid juga.
Di samping itu ada sabda Rasulullah SAW berikut ini.
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh.” (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah)

8- Cerai, karena itu, dilarang suami menceraikan isterinya dalam keadaan haidh.Diharamkan bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya dalam keadaan haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya… .” (At Thalaq : 1)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya membawakan ucapan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala : “Fathalliquuhunna li ‘iddatihinna”.
“Ibnu Abbas menafsirkan : ((Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya)).” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Ibnu Katsir rahimahullah selanjutnya mengatakan : “Dari sini fuqaha (para ahli fikih) mengambil hukum-hukum talak. Mereka membagi talak itu kepada talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adalah seseorang mentalak istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi (ketika suci tersebut) atau dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil.

Sedangkan talak bid’ah adalah seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika suci namun telah disetubuhi, sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil dengan sebab hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)

Apabila si istri dicerai dalam hari haidnya maka ia tidak dapat segera menghitung masa ‘iddah-nya karena haid yang sedang ia alami tidak terhitung sebagai ‘iddah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci).
Allah SWT berfirman :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’… .” (Al Baqarah : 228)
Demikian pula apabila ia dicerai dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi, maka ia juga tidak dapat menghitung ‘iddah-nya secara pasti karena belum diketahui apakah ia hamil dari hubungan itu hingga ia harus ber-’iddah dengan kehamilannya ataukah ia tidak hamil hingga ia dapat ber-’iddah dengan hitungan masa haidnya. Karena ada perbedaan antara ‘iddah-nya wanita yang hamil dengan wanita yang tidak hamil. ‘Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan wanita-wanita yang hamil masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath Thalaq : 4)
Dengan demikian apabila tidak terdapat keyakinan kapan masa ‘iddah dapat dihitung maka diharamkan menjatuhkan talak kecuali setelah jelas perkaranya.

Apabila seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid, maka si suami berdosa. Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam perlindungannya (rujuk) untuk ia ceraikan dengan cerai yang syar’i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Setelah ia rujuk, ia biarkan istrinya sampai bersih dari haid tersebut (suci), kemudian ia tahan lagi (jangan dijatuhkan talak) sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu, ia bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan, maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu (yakni dicerai sebelum digauli).

Dalil dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya dengan sanad yang beliau bawakan sampai kepada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid.

Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda :

“Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya).

lalu suci  Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).” (HR. Bukhari nomor 5251 dan Muslim nomor 1, 2 Kitab Ath Thalaq)
Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Perintahkanlah dia agar merujuk istrinya, kemudian hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau (dipastikan) hamil.”

9. Bersetubuh
Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” al-Baqarah 222

10. Menikmati dengan membuka antara lutut dan pusar (tanpa busana).
Sesuai dengan firman Allah tersebut diatas, dan hadist Rasulallah saw, beliau bersabda: “Halal bagi laki-laki atas perempuan yang sedang haid, menyentuh apa-apa yang diatas kain (di atas pusar)” (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *